Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Di dalam Kitab Tauhid-nya, Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah membawakan sebuah hadits yang panjang tentang diskusi yang terjadi di majelis Sa’id bin Jubair rahimahullah. Beliau adalah seorang ulama tabi’in dan salah satu murid terkemuka dari Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma.
Ketika itu, Sa’id bin Jubair menanyakan kepada sahabat-sahabatnya, “Siapakah diantara kalian yang melihat bintang jatuh tadi malam?”. Kemudian Hushain bin Abdurrahman seorang tabi’ut tabi’in menjawab, “Aku melihatnya.” Lalu dia menyambung, “Akan tetapi bukan karena aku sholat malam. Ketika itu aku tersengat binatang berbisa.”
Lalu Sa’id pun bertanya, “Lantas, apa yang kamu lakukan setelah kejadian itu?”. Hushain menjawab, “Aku meminta orang meruqyah untukku.” Sa’id bertanya lagi, “Apa yang mendorongmu untuk melakukan hal itu?” Hushain menjawab, “Ada sebuah hadits yang disampaikan kepada kami oleh asy-Sya’bi.”
Sa’id bertanya, “Hadits apa yang disampaikan olehnya kepada kalian?” Hushain menjawab, “Beliau menuturkan hadits kepada kami dari Buraidah bin al-Hushaib -seorang sahabat Nabi- bahwa ‘Tidak ada ruqyah -yang lebih manjur- selain untuk mengobati akibat mata jahat/’ain atau karena terkena sengatan binatang berbisa.’.”
Sa’id mengatakan, “Sungguh baik orang yang bersikap berdasarkan hadits yang telah dia dengar. Namun, Ibnu ‘Abbas juga menuturkan hadits kepada kami dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam…” Kemudian beliau menyebutkan kisah tentang tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. Dan salah satu ciri mereka itu adalah, “Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta untuk diruqyah…”
Demikian isi hadits ini dengan penyesuaian redaksional dan peringkasan. Hadits ini sahih dan ia diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, kisah ini adalah kisah yang menggambarkan kepada kita sebuah diskusi ilmiah dan indah yang terjadi di masa salafus shalih. Bagaimana seorang ahli ilmu sekelas Sa’id bin Jubair bisa menghargai dan mengapresiasi pendapat orang yang berada di bawah kedudukannya.
Kisah ini juga menampakkan kepada kita bagaimana mereka selalu bersandar kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah agama ini. Mereka beragama dengan dalil, bukan semata-mata dengan perasaan atau tradisi. Di sisi lain, kisah ini juga menunjukkan bagaimana salafus shalih sangat perhatian dalam menjaga keikhlasan.
Syaikh al-Fauzan menjelaskan, maksud perkataan Hushain, “Aku tidak sedang sholat malam. Akan tetapi aku terkena sengatan binatang berbisa.” Ucapan ini menunjukkan bahwa Hushain khawatir muncul riya’ di dalam hatinya. Oleh sebab itu beliau berkata, “Akan tetapi aku tidak sedang sholat malam.” Artinya, jangan sampai mereka mengira bahwa ketika itu dia tidak tidur karena melakukan sholat malam. Beliau khawatir mereka akan memberikan pujian kepadanya dengan suatu hal yang tidak ada pada dirinya. Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, “Ini merupakan bentuk kehati-hatian kaum salaf. Mereka berusaha menjauhi riya’ dan perbuatan memuji diri sendiri. Karena hal ini akan merusak keikhlasan.” (lihat I’anat al-Mustafid, Juz 1 hal. 112)
Dari dialog di atas, kita bisa melihat bagaimana kecerdasan Sa’id bin Jubair rahimahullah dalam menyambung pembicaraan dan berganti topik dari pertanyaan yang sebelumnya beliau ajukan. Beliau tidak ingin pembicaraan ini terputus gara-gara materi yang disampaikan temannya tidak sesuai dengan pokok materi yang beliau sampaikan. Beliau lebih perhatian kepada kasus yang diceritakan oleh temannya itu.
Beliau tidak cuek dengan keadaan temannya yang semalam terkena sengatan binatang berbisa. Oleh sebab itu beliau menanyakan tindakan apa yang dilakukan oleh Hushain pada saat itu. Beliau tidak mengatakan, “Oh, syafakallahu. Kalau begitu siapa diantara kalian yang melihat bintang jatuh semalam?” Namun beliau dengan lembut dan penuh pengertian bertanya, “Lantas, apa yang kamu lakukan setelah kejadian itu?”
Sesungguhnya ini menunjukkan keluhuran etika dan adab generasi salaf. Berbeda mungkin dengan keadaan sebagian orang di masa kini yang selalu ingin memonopoli pembicaraan dan ‘mengarahkan’ agar orang mengikuti alur pembicaraan dan topik masalah yang sedang diangkat olehnya. Hal ini sekali lagi menjadi cermin bagi kita bahwa perilaku dan adab sebagian kita masih jauh dari mulia.
Di dalam kisah di atas, kita juga bisa melihat bagaimana Sa’id bin Jubair memuji tindakan Hushain yang melandasi perbuatannya dengan dalil. Hal ini menunjukkan bagaimana mereka selalu berusaha bersangka baik kepada saudaranya. Mereka tidak suka tergesa-gesa menjatuhkan vonis atau cap negatif kepada orang yang melakukan suatu hal yang menyelisihi pendapat atau sikap mereka.
Dan hal ini semakin mengagumkan tatkala yang bisa memberikan penghargaan semacam itu adalah seorang yang lebih senior dari sisi ilmu dan usia serta pengalaman. Hal semacam ini mungkin jarang kita temukan di masa kini. Sebab kebanyakan orang -apalagi yang merasa lebih tua atau lebih berilmu- terkadang bersikap secara reaktif tanpa memikirkan dampak yang sekiranya muncul dengan reaksinya itu. Sebagian orang lebih mudah menyalahkan daripada menghargai upaya yang telah dilakukan.
Dan sekali lagi ini menunjukkan bagaimana sifat keikhlasan itu selalu mereka upayakan di dalam segala ucapan dan tingkah laku mereka. Sifat keikhlasan yang melahirkan akhlak rendah hati dan menghormati orang lain. Mereka tidak ingin menonjolkan keunggulan dirinya sendiri dan merendahkan eksistensi orang lain.
Kalau hal-hal yang relatif ‘ringan’ semacam ini pun kita belum bisa melaksanakan maka bagaimanakah lagi dengan hal-hal yang besar?